Sang Pesinden


Gejolak besar di sebuah negri kepulauan yang memiliki ragam budaya, membawa perubahan yang signifikan dari masa sebelumnya, dimana di era sebelumnya rakyatnya memilih bungkam untuk bertahan hidup lebih lama, kini dalam nada mereka ber euforia.

Puisi, pantun, lawakan, musik dan nyanyian dengan mudahnya di temui, dari ruang terbuka, sudut-sudut gang, hingga pelataran jalan, semua berhak memiliki panggungnya masing-masing.

Yang sebelumnya di paksa untuk terdiam, kini bahkan banyak yang lepas kendali, bernyanyi tak lagi menjadi ukuran nyali, menari tak lagi berani, karena dimana-mana, semua bebas memiliki aksi untuk siapa, apa, dan entah bagaimana, baik di lakukan sendiri maupun dalam aksi yang di lakukan beramai-ramai.

Suara menjadi biasa, dan tak akan mempengaruhi kuasa.

Dan seiring waktu maka nama negara bisa berubah setiap pemimpin baru berkuasa, yang tak boleh disebutkan lagi adalah nama yang sudah berlalu, kini negara itu bernama “Melankonesia”.

Di Republik Melankonesia, pemimpin tak lagi di sebut Presiden, melainkan Pesinden.

Politik tak lagi di penuhi perdebatan, siapa tampan dan bersuara bagus layak untuk menjadi juara, pemilihan umum tak di perlukan lagi, karena panggung selebritas menjadikan siapapun berhak berkuasa, selama bisa menyenangkan juri, dan bisa tampil dengan kepura-puraan yang gagah berani, karena yang juara adalah yang paling banyak mendapatkan perhatian dari polling sms, yang dikabarkan melalui tayangan televisi sesuai dengan harapan sang pesinden bila mencari pengganti.


Tempat ibadah, sekolah-sekolah, hingga universitas di isi dengan ajaran yang intinya panggung kehidupan, yang di sebut kebenaran pun di hias sebaik mungkin agar menjadi hiburan, dan rakyat pun di paksa senantiasa bersuka cita, meski yang di rasa adalah derita.

saat wisatawan memasuki pelataran bandara maka yang pertama di baca adalah baliho raksasa bertuliskan "Selamat Datang di Melankonesia, sebuah negri panggung, yang dapat anda nikmati tanpa perlu di sadari"

Komentar