Senja Kota

Aku memperhatikan bibirmu dan kubayangkan kita dalam sebuah film hitam putih tanpa teks, aku tak memilih untuk mendengarmu berbicara secara seksama, begitu menikmati suasana dalam ruang dingin yang hanya kita di dalamnya, meski nyata ramai adanya, dan saat kita beranjak dari bangku warung tersebut, semua terasa bergerak melambat dan kita berjalan begitu cepat, melewati tiap manusia dan imajinasi mereka, melompat dalam warna-warna yang dalam sekejap berubah tanpa urutan yang baku.

Lampu kota tampak indah pukul 2 pagi, saat jalanan benar-benar sepi, dan hanya sedikit kendaraan lalu lalang, kota ini serasa kita yang punya, entah kamu imajinasi atau nyata aku menikmatinya, manusia sekitar hanya kumpulan kulit dan daging, dan aku tak merasakan apapun, partikel mesin yang berkumpul lalu bercerai berai menjalankan apa yang banyak manusia lainnya sebut sebagai sebuah mesin kehidupan.

Kita berpikir dan berbicara tentang tuhan, alam, manusia lainnya, dan bermacam masalah, tepatnya dirimu yang banyak berbicara, aku hanya mendengar banyak dan menyambung ceritamu yang tak banyak ku mengerti,  kadang kau begitu sederhana dan terkadang saat kau berpikir dan mengucap, semua seperti ruwet adanya, sulit di tebak, dan saat lelah dengan obrolan malam, kita pun beranjak pulang, kembali ke dalam ruang pengap dengan komputer dan digital lainnya, yang berdekatan namun tak bersenggolan, hingga matahari pagi melemahkan mata dengan cahayanya, membuat sang imaji kembali bangkit di ruang baru yang di sebut mimpi.

Komentar