Sore di Parijs Van Java


Sore itu..
Parijs Van Java, pertengahan 2006, aku berjalan menyusur kota bandung, dan berhenti untuk duduk beristirahat sejenak di sebuah taman kota pingir jalan riau, hari itu gerimis, namun di bawah pohon besar aku terlindung dari kuyup, masih teringat apa yang terpikirkan saat itu.

Dalam keadaan yang sedikit memprihatinkan karena menunggu seseorang kunyalakan sebatang rokok dan memesan kopi hitam pinggir jalan, kesendirian.. ada apa dengan kesendirian?, dalam keadaan sendiri, kita akan mengawang-ngawang, menjelajah ranah imajinasi yang hanya ada dirimu, dan yang kau pikirkan, sibuk melihat mondar-mandir manusia yang sedang berbelanja di barisan outlet, atau memperhatikan seseorang yang sedang tampak menunggu sambil menerka-nerka apa yang di pikirkannya, lalu berbuahlah sebuah cerita fiksi dari objek yang sedang ku perhatikan.

Fiksi sendiri tak selalu khayal, dapat saja ia sebuah nyata yang tak dapat dijelaskan secara vulgar, kunikmati jajanan warung yang rasanya biasa, namun karena suasana menjadi begitu legitnya, memperhatikan seorang pasangan yang sedang di runut cinta sehingga begitu romantis berjalan sambil ketawa-ketiwi, kakek nenek yang berpuluh tahun bersama namun masih saja tetap mesra, bergandengan tangan sambil ngobrol menunggu senja di bangku taman, dunia tampak damai dan menyejukkan.

Kunikmati kopiku yang mulai mendingin dan beberapa cemilan tanpa label, dan aku tetap menunggu..
camera pocket ku bidikkan untuk pemandangan kota, menjelang senja lampu-lampu mulai menyala, kerumunan manusia pun semakin ramai, dari mobil mewah hingga yang biasa saja semakin padat, orkes jalanan meramaikan suasana, dan kuputuskan untuk melakukan aktivitas berjalan sambil menunggu, yang kutunggu tak kunjung datang dan kucoba untuk menikmati suasana yang sedang banyak dinikmati orang-orang sekelilingku, kunyalakan MP3 Player, kucocokkan dengan alunan senja dan kulahap habis-habisan kesendirian di tengah keremangan itu, hingga akhirnya dia datang dengan sekuntum mawar,
 menawarkan perdamaian dan toleransi atas menungguku, kuberikan senyum yang apa adanya, dan kuajak untuk makan malam bersama, di sebuah cafĂ© kecil pinggir jalan, kita tertawa hingga semalaman, dan terakhir, aku mengantarnya pulang, dengan angkot yang berulang-ulang ganti jurusan, kecupan kecil di pipi, sebagai salam perpisahan, dan akupun kembali ke tengah kota bandung, sebuah ruang kecil yang saat itu kusebut kosan, aku memikirkan semua begitu indahnya..
kehidupan yang tampak fiksi namun nyata adanya.. 

PS : bukankah itu yang di sebut kenangan, lebih dari sekedar ingatan, ia sulit di lupakan 

Komentar